Senin, 20 September 2010

Mencintai

Mencintai, ibarat seseorang menaiki anak tangga, perlahan menapak dari satu anak tangga ke anak tangga yang lain hingga kan tercapai maqom tertinggi.

Tak dipungkiri ada keinginan dan pengharapan ketika mencintai, meminta adanya imbal balik dari apa yang telah kita berikan, kita lakukan dan kita suguhkan. Kita meyakini bahwa kita telah memberikan semua yang ada dengan sepenuh hati dan kita menginginkan ada timbal balik dan korelasi seimbang antar kedua belah pihak. Ada penolakan dan rasa marah ketika kita tidak mendapatkan perimbangan itu, tidak terima ketika tidak ada imbalan. Salahkah ini? tidak. Namun ini berada pada tataran yang rendah, CINTA DENGAN TUNTUTAN. Yach, kita menuntut yang kita cintai juga memberikan seperti apa yang telah kita persembahkan untuknya. Penuh perhitungan.

Perlahan tapi pasti tangga itu satu persatu terlewati... seiring dengan waktu, kita menyadari bahwa mencintai tidak hanya sekedar mendapatkan hak dicintai, tetapi juga memberikan hak bagi yang dicinta. Tetapi masih gamang, penuh tawar-menawar... meyakini bahwa mencinta penuh pengorbanan akan memberikan kesejatian, tetapi masih tidak bisa menerima ketika ternyata pengorbanan itu tak akan membuahkan hasil seimbang. CINTA DENGAN PENAWARAN. Yach, aku akan mencintai sesuai dengan kadar dia mencintai agar tidak ada penyesalan. Perimbangan neraca dagang.

Suatu saat, di kala berada pada perenungan... ternyata penawaran itu tak bernilai, ada kegalauan hati menyesakkan dada, kalau selalu seperti ini maka tak akan didapatkan kesejatian, karena masih ada letupan amarah, belalakan mata dan rengekan serta pengandaian yang mengedepankan idealitas untuk menggapai cinta. Dan sampailah pada suatu pemikiran, apalah artinya tuntutan kalau akhirnya hati penuh amarah, apalah artinya tawar-menawar jika masih ada kekecewaan... tak ada permintaan, tak ada tuntutan... biarkan yang kupunya menjadi miliknya, apa yang kumampu kulakukan untuknya, apa yang ada di diriku kupersembahkan untuknya, ragaku; jiwaku; hatiku bahkan nyawaku. Tak terbersit sedikitpun semua yang dilakukan untuk memenuhi hasrat diri; panggilan hati dan kebutuhan raga rohani, semua terbaktikan untuk dia, yach dia... tak perduli kulit tersayat sembilu tersiram cuka, perih... tak peduli nafas tersengal tercekat; keringat bercucuran; mata buta; telinga tuli; mulut bisu; tangan dan kaki tak bergerak berlumur darah... tak dihiraukan desir darah itu kian membeku, mencekat... golakan perut tak bersahabat... semua dilakukan hanya untuk dia... CINTA DENGAN PENGORBANAN, CINTA DENGAN KESEJATIAN... yach, aku hadir untuknya; siap untuknya; berkorban demi dirinya... walau bagaimanapun dia, tanpa tuntutan; tanpa tawaran... memberi dan memberi... inilah kesejatian, inilah arti mencinta sebenarnya... dan sampailah pada tangga teratas, bertemu bangunan cinta sejati.


Mencintai mahluq-Nya demi Pencipta-Nya dengan cara yang nomor 3. Jika bisa itu, kenapa tidak bisa mencintai sang Pencipta seperti mencintai ciptaan-Nya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar