Minggu, 19 September 2010

Dzikir meningkatkan kekebalan tubuh

Saudaraku,
Berikut tulisan saya tentang korelasi spiritual dengan dunia medis, mencoba mementahkan dikotomi keyakinan dari para ilmuan dan agamawan yang terkadang masih mempertahankan posisinya masing-masing, khususnya bagi para ilmuwan medis yang menafikan korelasi keilmuan spiritual dengan medis, mencoba membuka wacana yang selama ini diyakini bahwa dunia spiritual (keagamaan) adalah dunia metafisika yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

Sengaja menulis tentang korelasi dzikir dengan kekebalan tubuh (dalam hal ini saya contohkan 1 kasus, HIV-AIDS), bahasan yang sedang hangat dan bersumber, baik dari jurnal ilmiah, buku agama maupun penelitian dari pada pakar. Sebagai bentuk tanggung jawab saya terhadap tulisan ini, saya sertakan sumber pustaka yang saya gunakan.

Jika ada yang perlu diklarifikasi, menambah mengurangi akan saya terima sebagai khasanah pengembangan keilmuan. Syukron

HIV-AIDS, SISTEM KEKEBALANNYA DAN DZIKIR

HIV adalah retrovirus yang menginfeksi sel imun terutama sel CD4+ dan makrofag dan menghancurkan fungsinya. Infeksi yang progresif dan merusak sistem imun yang ada sehingga jatuh pada kondisi defisiensi imun34. Ketika pasien HIV+ berada pada fase terinfeksi, maka semakin lama akan muncul sekumpulan gejala ringan sampai berat berkaitan dengan immunosupresi yang terjadi, saat inilah seseorang jatuh pada kondisi AIDS30.

AIDS telah menjadi prioritas masalah kesehatan di dunia, walaupun telah mencapai perkembangan yang baik dalam pencegahan infeksi HIV baru dan menurunnya angka kematian akibat AIDS namun terdapat peningkatan jumlah individu yang terinfeksi HIV34, pada tahun 2010 diperkirakan 50-75 juta individu yang terinfeksi HIV akan bertambah dan penderita AIDS akan meningkat sekitar 25 juta orang12. Perkembangan HIV-AIDS tersebut disebabkan karena semakin mudahnya HIV tertransmisi dan mudah turunnya sistem kekebalan tubuh (penurunan jumlah sel CD4+). Kerusakan sel CD4+ (T-helper) mulai terjadi setelah 3 minggu terinfeksi dan akan mencapai penurunan 50%-60% hanya dalam 6 bulan pertama12, selanjutnya akan semakin turun setelah 1-2 tahun pertama dan mencapai kondisi penurunan drastis pada 8-10 tahun pasca terinfeksi, dan saat inilah kematian dapat terjadi12.

Infeksi mulai terjadi ketika HIV masuk ke dalam sel tubuh. Melalui proses ikatan gp120 dengan CD4 dan CCR5, HIV masuk dengan media gp41 dan akhirnya terjadi membran fusion. Terjadi proses transkripsi RNA ke DNA dan akhirnya terjadi infeksi permanen. Sel T4 akan dihancurkan sehingga terbentuklah HIV baru (replikasi) untuk menginfeksi sel CD4+ yang lain30. Sejumlah penelitian menyatakan bahwa sesudah infeksi inisial (permulaan), kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi pula30.

Ketika sistem imun terstimulasi, maka replikasi virus akan terjadi dan virus akan menyebar ke dalam plasma darah dan mengakibatkan infeksi berikutnya pada sel-sel CD4 lainnya. Dalam respon imun, limfosit T4 berperan dalam pengenalan antigen asing, aktifasi limfosit B untuk memproduksi antibodi, stimulasi limfosit T sitotoksik memproduksi limfokin dan mepertahankan tubuh terhadap infeksi parasit. Jika T4 terganggu, maka mikroorganisme akan mudah menginvasi30. Infasi tersebut akan menurunkan kadar CD4+ dalam tubuh dari jumlah normal (700-1200/mm3) dan berefek ganda pada beberapa komponen imun yang lain, antara lain menurunnya respon melarutkan Ag; menurunnya sekresi limphokin; menurunnya cytotoxixity spesifik; menurunnya sel NK; produksi Ig terhambat ketika berespon dengan Ag yang baru dan berkurangnya kemampuan makrofag untuk cytotoxic; menurunnya chemotaxis; berkurangnya sekresi IL-1 dan lemahnya presentasi Ag.

Progresifitas AIDS dihubungkan dengan waktu terpapar HIV dan tahapan infeksi didapatkan relative number or activity dari sel CD4+ pada awal infeksi masih berada di atas 75% dan semakin menurun pada titik di bawah 25% 1 tahun sesudah terinfeksi, kondisi ini disebut immunodeficiency dan pada tahun pertama ini klien sudah menunjukkan tanda-tanda simptomatik. Ketika masa akut sudah terlampaui, klien jatuh pada fase kronik 3-8 tahun di mana sudah mulai muncul infeksi yang berhubungan dengan AIDS antara lain adanya carcoma kaposi; TB dan infeksi virus – jamur pada mukosa, sedangkan angka aktifitas relatif sel CD4+ berada pada 75% pada tahun ke-3 dan sempat mengalami masa plateu dan akhirnya mulai terjadi penurunan pada tahun ke-5 menjadi 50% dan bersamaan dengan menurunnya sel T memori dan sel T reactivity yang berada pada titik di bawah 25%-0% di tahun ke-8 terinfeksi. Saat inilah pasien jatuh pada kondisi krisis dengan infeksi oportunistik yang meluas.

Percepatan penurunan kadar CD4+ ini akan meningkat dan terjadi infeksi oportunistik yang berdampak pada gangguan mental klien12, klien akan stres-fisik dan psikis-dan menyebabkan terjadinya penekanan sistem imun22. Berdasar konsep psychoneuroimunology, stres diposisikan sebagai stimulus yang akan menimbulkan stressor dan melalui HPA axis stres akan mempengaruhi kelenjar adrenal untuk mensekresikan kortisol dalam jumlah yang banyak sehingga akan menekan sistem imun7, sekresi kortisol ini berbanding lurus dengan perubahan mental (stres) pasien dan berbanding terbalik dengan imunitas tubuh, karena kortisol akan menekan sistesis protein dan menghambat proliferasi limfosit diantaranya dapat menurunkan jumlah subset sel T terutama CD429.

Kortisol adalah hormon yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal sebagai hasil dari stimulasi umpan balik negatif antara hipothalamus dan kelenjar hipofisis anterior17. Persyarafan serabut eferen simpatis dan efferen parasimpatis menyebabkan b-agonis dan vasoaktive intestinal peptide mempengaruhi sekresi kortisol dan aldosteron. Antara kelenjar adrenal dan hipothalamus terdapat jalur efferen yang memungkinkan stres dapat merangsang sekresi ACTH29.

Sekresi kolesterol dan androgen diatur ACTH, sedangkan aldosteron oleh angiotensin dan konsentrasi ion K. Selain ACTH, kortisol dipengaruhi oleh rangsangan otak sebagai respon terhadap stres dan oleh diurnal rytme. Sedangkan ACTH diatur oleh CRH dan neurotransmitter. Stress baik fisik dan emosional menyebabkan terjadinya sekresi CRH dan arginin vasopressin dan aktivasi dari system saraf simpatis. Hal ini akan meningkatkan sekresi ACTH17. Interaksi ACTH-kortisol terjadi melalui negative feedback, konsentrasi kortisol yang meningkat akan menghambat sekresi ACTH dan CRH29.

Pemberian kortisol meningkatkan pelepasan leukosit (PMN) intravaskuler sumsum tulang, meingkatkan paruh waktu PMN dalam sirkulasi, mengurangi pergerakan PMN dari pembuluh darah. Kortisol mengurangi konsentrasi sistem pertahanan tubuh paling awal. Bila imunogen memasuki tubuh, epitop ditangkap makrofag dan secara bersamaan menampilkannya pada sel T. Makrofag melepaskan IL-1 (limfokin) yang dapat mengaktifkan Th. Sekresi IL-2 oleh Th berfungsi sebagai mediator proliferasi sel T. Juga sel Th dapat mengaktifkan limfosit B untuk memproduksi antibodi terhadap antigen penyerang awal. Sehingga secara keseluruhan kortisol dapat menurunkan respon sel T29.

Kortisol juga mempengaruhi tingkah laku dan emosi seperti labil, euforia, iritable dan depresi. Ketika stres terjadi, maka berbagai macam stressor menghambat proliferasi limfosit dan akhirnya menurunkan jumlah subset dari sel T, terutama CD4. Selain itu, stres juga menurunkan IL-2 sehingga terjadi aktifitas dan toleransi sel T meningkat serta menurunan CD8. Stres dapat mempengaruhi hilangnya kemampuan sel T dalam mengenal imunogen dengan tanda kadar IFN-Y rendah29.

Pada pasien HIV-AIDS akan mengalami berbagai macam keluhan dan komplikasi (infeksi oportunistik) dan ini akan menimbulkan stres. Stres fisik dan psikologis membutuhkan strategi penanggulangan adaptif (coping mechanism). Mekanisme koping yang positif dan efektif dapat menghilangkan stres, sebaliknya, jika negatif dan tidak efektif maka akan memperburuk kesehatan dan memperbesar potensi sakit. Stres dianggap sebagai stressor yang menghambat proliferasi limfosit karena dapat menurunkan jumlah subset dari sel T (CD4), IL-2 dan CD8 sehingga mempengaruhi hilangnya kemampuan sel T mengenal imunogen, semakin banyak CD4 dihancurkan maka semakin turun imunitas seorang pasien HIV-AIDS29.

Pengelolaan stres memiliki 2 komponen utama, 1) edukatif, dan 2) tekhnik relaksasi, meliputi meditasi; perenungan dan biofeedback. Selain tahajjud, dzikir mempunyai kandungan komponen yang kedua sehingga dapat digunakan sebagai mekanisme koping menghadapi stres. Pengontrolan respon emosi dapat dilakukan dengan 1) strategi cognitive refenition untuk melihat masalah dari sisi pandangan yang lebih positif, dan 2) strategi cognitive restructuring sebagai upaya mengubah persepsi menjadi lebih realistis dan konstruktif tentang stressor, dan dzikir memenuhi 2 strategi tersebut, terdapat esensi hidup realistis; optimis dan konstruktif. Sikap optimis dapat menghindarkan diri dari depresi; cemas dan stres, dengan optimis orang akan terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis.

Keterkaitan perilaku dengan ketahanan tubuh imunologik dalam konteks PNI diperantarai oleh neurotransmitter; neurohormonal, hormon dan sitokin. Salah satu jalur yang mudah dibahas adalah jalur ACTH-kortisol-imunitas29. Dalam proses pengelolaan tersebut, sebenarnya pasien sedang berada pada kondisi adaptasi, menyeimbangkan diri antara stimulus-respon yang diatur dalam sistem limbik. Bagian utama sistem limbik adalah hipothalamus yang berperan dalam mengatur perilaku; dorongan dan fungsi vegetatif. Adanya rangsangan pada hipothalamus memimbulkan sekresi neurohormonal melalui HPA axis. Sedangkan pengaruh emosi sendiri diperoleh melalui amigdala, stimulasi pada amigdala menimbulkan efek diantaranya sekresi kortikotropik dan muncul rasa senang. Selain itu terdapat hipokampus sebagai perekam dan pemakna proses persepsi, yaitu penyedia detail ingatan akan konteks dan pemahaman emosional. Dalam proses suatu stimulus, sinyal akan berjalan terlebih dahulu di otak menuju thalamus, melewati sinaps tunggal ke amigdala. Sinyal kedua dari thalamus disalurkan ke neokorteks otak yang berfikir. Percabangan ini memungkinkan amigdala mulai memberikan respon sebelum neokorteks merespon dan mengolah informasi melalui beberapa lapisan jaringan otak, sebelum otak sepenuhnya memahami dan pada akhirnya memulai respon yang telah diolah29.

Amigdala menghidupkan hipothalamus agar mensekresikan CRF, CRF akan mengaktifkan hipothalamus anterior (AP) untuk mensekresi opiat (enkephalin dan endorphin). Selain itu sekresi ACTH pada AP menurun yang akan mengontrol korteks adrenal untuk mengendalikan sekresi kortisol. Menurunnya ACTH dan kortisol akan menyebabkan respon imun meningkat29.

Ketika terjadi multicondition seperti ini (HIV positif dan atau AIDS dan atau peningkatan kortisol karena stress fisik dan psikis), maka pasien HIV-AIDS semakin jatuh pada kondisi penurunan daya kekebalan tubuhnya. Diperlukan berbagai penatalaksanaan yang komprehensif bio-psiko-sosio-spiritual. Penatalaksanaan HIV-AIDS dilakukan dengan berbagai pendekatan, diantaranya adalah pendekatan spiritual. Telah banyak ditemukan bukti yang mendukung pada hubungan spiritual dengan peningkatan status kesehatan klien, diantaranya: Complementary Alternative Medicine (CAM) antara lain terapi doa (27%) berefek pada kualitas hidup pasien HIV dibanding penggunaan Anti Retroviral Theraphy (ART)11, perasaan positif; koping konstruktif dan adaptasi yang efektif akan berkontribusi terhadap kesejahteraan psikospiritual pasien kanker yang akhirnya meningkatkan status kesehatannya19, dan kepercayaan dan doa akan menurunkan rasa nyeri23. Ditemukan pula jumlah sel CD4+ pada pasien remaja dengan HIV tidak berkaitan dengan coping style31, keterlibatan dan hubungan dengan Tuhan-kekuatan tertinggi-dan keterlibatan keluarga akan menghasilkan aspek positif dan kekuatan berjuang pada pasien HIV32, mantram akan meningkatkan kesejahteraan hidup dan kesehatan fisik pada pasien HIV/AIDS3. Bukti lain mengatakan sebagian besar wanita HIV+ menggunakan pendekatan spiritual untuk mengatasi masalah hidup dengan HIV+ dan berefek pada kemampuan bertahan/kelangsungan hidup8, spiritualitas pada pasien HIV+ berkulit hitam tidak berhubungan dengan depresi4, depresi akan menyebabkan seseorang rentan terhadap penyakit karena terjadi perubahan kimia sistem imun tubuh35 dan perbaikan kualitas hidup pasien setelah didiagnosa HIV dipengaruhi oleh nilai spiritual yang tinggi dan nilai positif terhadap agama33.

Dalam kisah nyata, seorang gay mengatakan bahwa doa memberikan kemampuan fokus pada pertahanan diri di saat T-cell menurun25, harapan yang meningkat pada klien HIV-AIDS akan meningkatkan status fungsional tubuh dan kualitas hidupnya5. Evidance lain menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan antara pengguna dan non-pengguna terapi komplementer terhadap perubahan CD4 dan beban virus yang ada6, doa dan zikir dapat menjadi unsur penyembuh penyakit16, ketaatan beragama akan meningkatkan daya tahan hidup pasien kanker dan HIV-AIDS10, serta respon relaksasi dengan menyebutkan kalimat spiritual akan menghilangkan nyeri; insomnia dan kecemasan pada pasien kanker dan HIV-AIDS11. Selain itu efek dukungan spiritual pada PHIV memberikan hasil yang signifikan, kesejahteraan spiritual berhubungan dengan perubahan status kesehatan fisik23, menurut Taylor stres dan depresi: akan berpengaruh negatif pada sistem kekebalan tubuh dan dalam hal ini individu yang tidak menjalankan agama akan mengalami stres36. Frayback menemukan bahwa spiritualitas adalah komponen yang sangat penting untuk seseorang merasa sehat dan sejahtera13, dan pada penelitian terakhir tahajjud perkuat sistem imun tubuh18, salat tahajjud yang dilakukan dengan tepat;  khusyuk; ihlas dan kontinyu dapat meningkatkan perubahan respon ketahanan tubuh imunologik18.

Salah satu upaya/aktifitas spiritual yang sangat mudah dilakukan untuk meningkatkan kekebalan tubuh adalah dengan dzikir. Dzikir secara etimologi berasal dari bahasa Arab dzakara yang berarti mengingat, dan secara terminologi dimaknai sebagai suatu amalan ucapan melalui bacaan-bacaan tertentu untuk mengingat Allah. Dari sekian banyak pengertian tentang dzikir dapat diambil pengertian mendasar bahwa dzikir merupakan setiap kegiatan fisik dan psikis yang membentuk akselerasi mulai dari renungan; sikap; aktualisasi sampai kepada kegiatan proses hidup yang dapat mengantarkan kita untuk teringat dan mengingat Allah, The Great Power1.

Dzikir merupakan ibadah sunnah yang paling baik dan paling disukai oleh Allah, paling ringan dan mudah untuk dikerjakan karena tidak dituntut dengan syarat dan rukun tertentu, dapat dilakukan kapanpun; di manapun dan dalam kondisi apapun26. Walaupun tidak terbatas ruang dan waktu, tetapi ada waktu-waktu tertentu yang sangat baik untuk dilakukan yaitu malam hari terutama sepertiga malam, saat sholat, mendapatkan musibah, dan ketika lupa Allah1.

Banyak sekali jenis dzikir yang dapat dilakukan, baik dalam bentuk tafakkur (dzikir pikir, merenung dan berfikir tentang keagungan Allah), dzikir qouliyyah (dzikir lisan, mengucapkan bacaan-bacaan tertentu dan dapat didengar oleh telinga), dzikir qolbu (mengingat Allah dalam hati) dan dzikir amal/fi’liyyah (mengingat Allah dengan perbuatan yang sesuai dengan aturan-Nya). Salah satu dzikir yang paling utama adalah dzikir lisan, ada beberapa bacaan yang bisa digunakan kapanpun dan dimanapun, yaitu kalimat tasbih, tahmid, takbir, tahlil dan alhauqolah, selain istighfar, basmalah, dan  isti’adzah1, selain dzikir yang paling utama yaitu laa Ilaaha illallah28.

Salah satu jenis bacaan yang biasa dibaca orang sakit adalah istighfar,  karena di dalamnya mengandung pemahaman kepasrahan diri; permohonan maaf dan berserah diri pada-Nya. Kondisi ini akan memberikan kenyamanan dan dapat dilakukan kapanpun dimanapun dengan bacaan yang tidak sulit karena hanya berbentuk kalimat Astaghfirullah. Tidak ada aturan khusus berapa kali; kapan dan bagaimana istighfar itu dibaca, akan tetapi terdapat koridor saat akan membaca yaitu diusahakan hati dan badan bersih; benar-benar berpasrah dan memahami arti pemohonan maaf yang sesungguhnya dan bisa dibaca 100 kali tiap pagi26.

Korelasi dzikir dengan peningkatan kekebalan tubuh dapat dibuktikan sebagai berikut: Dzikir merupakan ibadah sarat muatan psikologis dan mempengaruhi kognisi dengan memperbaiki persepsi; motivasi positif dan coping efektif. Pada teori gate control dikatakan bahwa stres dapat dikendalikan oleh biokimiawi juga motivasi-proses kognisi, sehingga dengan sikap optimis, orang akan terjaga dan tetap dalam kondisi homeostasis26, 27, 28, 29.

Dzikir pada klien HIV-AIDS adalah membaca istighfar yang sangat mudah dilakukan; tidak ada batasan waktu dan tempat; kalimat pendek; tidak menimbulkan kepayahan dan kebosanan serta sesuai kondisi1. Pasien dikondisikan memahami esensi kalimat istighfar; konsentrasi dan penyerahan diri kepada Allah; dan ditekankan pada keihlasan serta kontinuitas. Dzikir minimal 30 menit/hari dengan frekuensi 5-6 menit/selesai sholat (waktu datang sholat), dengan cara di atas maka dzikir akan dapat memodulasi sistem imun.

Dzikir mendatangkan persepsi positif, amigdala akan mengirimkan informasi kepada Locus Coeruleus (LC) yang mengaktifkan reaksi syaraf otonom, lewat hipothalamus, mensekresikan neurotransmitter; endorpin dan enkefalin yang berfungsi sebagai penghilang rasa sakit dan pengendali sekresi CRF secara berlebihan. Akibatnya HPA axis dalam mensekresi ACTH juga stabil terkendali, begitu juga kortisol; adrenalin dan nor adrenalin serta katekolamin yang mempunyai reseptor alfa (Ra) dan beta (Rb), sehingga sistem imun menjadi positif. Alurnya sebagai berikut:
Emosional kognitif yang positif (dzikir) ditransmisikan ke sistem limbik dan kortex serebral dengan tingkat koneksitas kompleks antara batang otak-thalamus-hypothalamus-pre frontal kiri dan kanan-hipokampus-amigdala. Terjadi keseimbangan sintesis dan sekresi neurotransmitter; GABA dan antagonis GABA oleh hipokampus dan amigdala, dopamin; serotonin dan norepineprin oleh prefrontal serta asetilkolin; endorpin dan enkepalin oleh hipothalamus. Sifat inhibisi dan eksitasi tersebut akan mempengaruhi sekresi CRF oleh PVN di hipothalamus, pengendalian ini akan mengendalikan sekresi ACHT oleh HPA-A sehingga terjadi keseimbangan korteks adrenal dalam mensekresikan kortisol dan beberapa neurotransmitter; adrenalin-nor epineprin dan katekolamin dengan reseptor alfa maupun beta29.

Normalitas kortisol menstimulasi respon ketahanan tubuh imunologik, baik spesifik non-spesifik; seluler maupun humoral yaitu kortisol normal akan menstimulasi limfosit (T, B) yang dapat memproduksi antibodi. Secara spesifik pada klien HIV-AIDS, kortisol menstimulasi makrofag/monosit untuk mensekresi IL-1 yang dapat menstimuli differensiasi sel T menjadi Th-1; Th-2; Tc; basofil; eosinofil; neutrofil dan berpengaruh langsung pda sek NK. Makrofag/monosit dapat dirangsang oleh produk bakteri dan sitokin; IFNg; TNFa dan IL-1 untuk mengahsilkan NO. Pada satu sisi, Th-2 menstimulasi differensiasi sel B untuk menjadi sel plasma, sementara sel T sitotoksik berikatan dengan IL-1 untuk mngaktifkan kembali sel T-helper29.

Sel CD4+ mencakup monosit; makrofag dan limfosit T helper, limfosit T helper merupakan sel yang paling banyak. Ketika semua komponen ini akan terstimulasi oleh normalitas kortisol, maka terjadi peningkatan sistem imun tubuh; peningkatan kemampuan mengenal benda asing; mengaktifkan linfosit B yang memproduksi antibodi; menstimulasi sel sitotoksik; memproduksi limfokin dan memperthankan tubuh terhadap infeksi parasit. Pada akhirnya cadangan CD4 pada klien HIV-AIDS meningkat, yang artinya ketika sistem imun meningkat maka terjadi perlambatan produksi HIV dalam tubuh dan percepatan munculnya infeksi opportunistik akan menurun dan akhirnya status kesehatan pasien meningkat atau minimal tidak jatuh pada kondisi terburuk.

DAFTAR PUSTAKA

Amin dan Al-Fandi. (2008). Energi Dzikir. Penerbit Amzah: Jakarta.

Anderson, E. H. (1992). Stress, Cognitive Appraisal, Coping and Adaptational Outcomes Among Asymptomatic Persons with Human Immunodeficiency Virus Infection. UMI: USA

Bormann, et all. (2006). Effects of Spiritual Mantram Repetition on HIV Outcomes: A randomized Controlled Trial. Journal of Behavioral Medicine. Vo. 29, No. 4, August 2006.

Braxton, et all. (2007). The role of Spirituality in Sustaining the Psychological Well-Being of HIV-Positive Black Women. Woman and Health Journal. Vol, 46 (2/3) 2007. Haworth Press, Inc.

Chammas G. (1999). Hope, Functional Status, and Quality of Life in Hospitalized Patients with Human Immunodeficiency Virus Infecion and Acquired Immunodeficiency Syndrome. UMI. A Bell and Howell Information Company: USA

Chang, et all. (2003). Factors Associated with Complementary Therapy Use in People Living with HIV/AIDS recieving Antiretroviral Therapy. The Journal of Alternative and complementary Medicine. Volume 9, Number 5, 2003. pp 695-710: Marry Ann Liebert, Inc.

Clancy, J. (1998). Basic Concept in Immunology: Student’s Survival Guide. New York: The Mc. Graw-Hill Companies.

Dalmida, et all. (2006). Spirituality, mental health, Physical health, and health-Related Quality of Life Among Women with HIV/AIDS: Integrating Spirituality into Mental Health Care. Issue in Mental health Nursing, 27: 185-198, 2006. Taylor & Francis Group, LLC.

digilib.unsri.ac.id/download/Kortisol.pdf. Kortisol. Diunduh Februari 2010

Djauzi. (2004). Terapi Spiritual. Yayasan Spiritia: Jakarta

Duggan, et all. (2001).Use of Complementary and Alternative Therapies in HIV-Infected Patients. AIDS Patient Care and STDs Journal. Volume 15, Number 3, 2001.: marry Ann Liebert, Inc.

Dwein. (2009). Immunology. Cosby: Phyladhelpia

Fryback, et all. Spirituality and People with Potentially Fatal Diagnoses. Nursing Forum Journal. Volume 34, No. 1, January-March, 1999.

Grant, et all. (1987). Evidence for Early Central Nervous System Involvement in the Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) and Other Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infections: Study with Neuropsychologic Testing and magnetic resonance Imaging. Reprinted from Annals of Internal Medicine Journal. Vol. 107, No. 6, December 1987.: USA.

Green C. W dan Setyowati H. (2004). Terapi Alternatif. Yayasan Spiritia: Jakarta

Hawari Dadang. (2003). Doa dan Zikir Bisa Jadi Penyembuh Penyakit. jurianto.wikispaces.com/.../782-doa-dan-zikir-bisa-jadi-penyembuh-penyakit.pdf.  diunduh pada Februari 2010

http://dok-tercantik.blogspot.com/2009. (2009). Adrenal Fisiologi. diunduh pada Februari 2010

http://www.klik-brc.com. (2010). Tahajjud Perkuat Sistem Imun Tubuh. Diunduh Februari 2010

Lin, et all. (2003). Psycho-Spiritual Well-being in patients With Advanced Cancer: An Integrative Review of The Literature. Journal of Advanced Nursing. Blackwell Publishing L.td. 20, May 2003

Lorenz, et all. (2005). Religiousness and Spirituality Among HIV-Infected Americans. Journal of Palliative Medicine. Volume 8, Number 4, 2005: marry Ann Liebert, Inc.

Mariadi I Ketut dan Goetra Wira. (2007). Insufisiensi Adrenal pada Pasien dengan Penyakit Kritis. Journal Penyakit Dalam. Volume 8 Nomor 1. Januari 2007. Denpasar

Nursalam. (2009). Model Holistik berdasar Teori adaptasi (Roy dan PNI) sebagai Upaya Modulasi Respon Imun (Aplikasi pada Pasien HIV dan AIDS). Makalah pada seminar Nasional Keperawatan, 16 Mei 2009.

Palmer, et all. (2004). A Randomized Trial of The Effects of Remote Intercessory Prayer: Interantions With Personal Beliefs on Problems-Specific Outcomes and Functional Status. The Journal of Alternative and Complementary Medicine. Volume 10, Number 3, 2004. Pp 438-448.: Mary Ann Liebert, Inc.

Phillips, et all. (2006). Spiritual Well-being, Sleep Distrubance, and Mental Physical health Status in HIV-Infected Individuals. Issues in mental Health Nursing Journal. 27: 125-139, 2006. Taylor & Francis Group, LLC.

proQuest religion. (1994). Gay Men and Lesbians describe Spiritual Journeys. Prayer Life Provides a Focus as I Cope With Dropping T-cell. National Catholic Reporter. Sep 2, 1994; 30, 38.

Saleh A. Yurisaldi. (2010). Berzikir untuk Kesehatan Syaraf. Penerbit Zaman: Jakarta.

Sholeh M. (2000). Disertasi: Pengaruh Sholat Tahajjud terhadap Peningkatan Respon ketahanan Tubuh Imunologik, Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi. Surabaya.

Sholeh M. (2008). Pelatihan Shalat Tahajud: Solusi Praktis Menyembuhkan Berbagai penyakit. Penerbit Hikmah: Jakarta Selatan.

Sholeh M. (2009). Terapi Salat Tahajjud: Menyembuhkan berbagai Penyakit. Cetakan XXI. November 2009. Mizan media Utama: Bandung

Smeltzer and Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth. Edisi 8. Volume 3. Alih Bahasa Hartono dkk. EGC: Jakarta

Stein, et all. (2004). Cross-sectional and Longitudinal Associations in Coping Strategies and Physical health Outcomes among HIV-Positive Youth. Psychology and health Journal. June 2004, Vol. 19, No, 3. pp 321-336: Brunner Routledge.

Tarakeshwar, et all. (2006). A relationship-based Frame Work of Spirituality for Individuals With HIV. AIDS and Behavior Journal, Vol. 10 No. 1, Januari 2006

Tsevat, et all. (2009). Change in Quality of Life After Being Diagnosed with HIV: A Multicenter Longitudinal Study. AIDS Patient Care and STDs Journal. Volume 23, Number 11, 2009: mary Ann Liebert, Inc.

UNAIDS 2009. (2010). AIDS Epidemic Update 2009. www.uaids.org

Xiang Richard. (2007). Depression’s Influence on The Immune System. Review article on Journal of Undergraduate Life Sciences (JULS). Volume 1. No. 1. Spring 2007

Yahya Harun. (2008). Stress dan Depresi: Akibat Tidak Menjalankan Agama. http://tr1.harunyahya.com/Detail/T/EDCRFV/productId/4556/STRES_DAN_DEPRESI:_AKIBAT_TIDAK_MENJALANKAN_AGAMA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar