skip to main |
skip to sidebar
Peramai Hati
Sangat memahami dan menyadari kenapa sampai saat ini tanpa sang peramai hati. Dengan meminjam istilah teman, masih menjadi produser stressor, sehingga Allah masih menjaga jangan sampai lahir nyawa yang nanti akan melarikan diri karena ketidaktentraman.
Bertemu, menikah, mengikat janji sehidup semati, saling mendukung menghargai dan mencintai, dalam suka maupun duka, dalam kelapangan maupun kesempitan
Menikah adalah ibadah, salah satu tujuannya adalah mendapatkan keturunan yang sholih-sholihah. Namun ternyata tidak semua pasangan mendapatkan karunia itu
Berbagai upaya telah dilakukan, namun ternyata semua masih nihil. Berkecamuk dada, antara sedih, sesal, kecewa dan segudang tanya. Ada apa dengan diriku, dirinya, kenapa tak kunjung jua kau datangkan peramai hati?
Hingga sesal kemudian mendera, syakwasangka mengemuka, kecamuk emosi tak mampu terbendung dalam bentangan pilar ihlas dan sabar yang masih hanya dibibir. Sampai suatu saat berada pada titik nadir
Entah menjadi suatu titik keihlasan, kepasrahan atau keputusasaan. Dalam diam bertanya dan menyalahkan, kebosananan dan air mata kian mendera, hingga ankhirnya tak ada lagi harap yang bermakna
Terkadang muncul pembandingan, kenapa hanya mereka yang mendapatkan, enggan berkumpul dengan para wanita yang dengan cerah ceria bermain dengan anak-anaknya, menghindari pembicaraan tentang keturunan dan bahkan menghilang dari kerumunan orang banyak hanya sekedar tidak mau mendengarkan celoteh tanya tentang anak
Mencoba tersenyum dengan cemoohan, menjawab setiap tanya dengan kesabaran dan memberikan kelembutan dikala dibandingkan, di tengah halayak. Begitu banyak yang mengatakan "kau kalah, kau bodoh, kau tidak bisa, lalu apa saja yang kau lakukan selama ini, kalau memang tidak bisa bilang saja ke aku" dan segudang kalimat yang memekakkan telinga.
Semua itu hanyalah angin lalu kawan, sebagai bentuk perhatian dan penyemangat yang tak pernah padam. Ketika masih terbelenggu emosi dan berada pada titik nadir, akal sehat dan keihlasan terkadang sirna, namun sebenarnya ada hikmah di balik itu
Allah menentukan segala sesuatu sudah pada porsinya, sebagaimana anak kecil dan orang dewasa, porsi makan tidak akan sama, begitu juga ketika Allah memberikan amanah anak pada satu pasangan.
Anak adalah amanah besar, mulai dari pembuatan; pembentukan sampai dengan lahir dan seterusnya terdapat tanggung jawab yang sangat besar untuk mengantarkannya menjadi hamba Allah yang sholih dan ini mengandung konsekwensi besar
Besarnya konsekwensi ini harus diimbangi dengan kestabilan orang tua, ini yang terkadang dilupakan oleh pasangan. Meminjam istilah kawan, ketika rumah tangga masih sebagai produser stressor, maka otomatis stabilitas kejiwaan dan kematuran pasangan masih perlu ditata, lalu ketika kondisi ini masih mengemuka, bagaimana sang anak akan bisa dilahirkan dengan sempurna?
Ini bukti bahwa Allah sangat cinta sayang dan penuh kasih, Allah yang tahu segala yang terbaik untuk kita. Ukuran terbaik bkn pada batasan manusia karena tidak akan bisa sama, ukurannya adalah ketentuan Allah. Ketika dipaksakn untuk mendapatkan keturunan dengan hati yang tidak tertata, maka beban akan banyak ditanggung, dan Allah tidak mau itu terjadi, Allah sangat sayang kepada kita, Allah mengurangi dosa kita jika seandainya nanti lahir anak tapi ternyata tidak dapat menjaga amanah itu dengan baik
Kenikmatan yang Allah berikan juga tiada tara, bukan saja anak saudara-saudaraku. Nikmat kebersamaan, kemesraan, keindahan, celoteh keponakan dan perhatian dari teman sahabat dan segudang nikmat lain yang terkadang kita lupakan. Pernahkah kita mencoba melihat pasangan yang mempunyai anak, nikmat apa yang ternyata kita miliki tetapi tidak dimilikinya??? Maka percayalah semua itu sudah diatur Allah
Ada pasangan yang ingin menggapai pendidikan setinggi langit, tapi karena terbentur anak maka keinginan itu tertunda. Ada pasangan yang belum mendapatkan anak tapi bisa menggapai pendidikan tinggi dengan mulusnya... itulah salah satu nikmat Allah. Bukti perimbangan dan kesesuaian yang diberikan Allah. Pada dasarnya nikmat itu sama, kebahagiaan itu sama, hanya saja jenisnya yang berbeda,dan sekali lagi, semua itu disesuaikan dengan porsinya
Maka, sekarang ini bukan lagi saatnya untuk mengurung diri bermuram durja dan mendramakan diri dan hati serta bertanya mengapa dan mengapa... tapi tegakkan badan; kuatkan pijakan; luruskan pandangan; mantapkan dan kukuhkan hati untuk menatap masa depan.. berbaik sangkalah bahwa semua sudah diatur kapan waktu yang tepat untuk mendapatkannya, dan jika sampai ajal menjemput karunia itu belum jua datang, yakinlah bahwa kelak akan ada nikmat yang lebih indah di surga, amin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar