Kamis, 27 Januari 2011

PERJODOHAN

Aku dijodohkan... Di hari-hari menjelang akad nikah, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku pada calon pasanganku, tetapi usahaku sia-sia. Usahaku justru membuatku sangat tersiksa. Bibit cinta yang kuharapkan malah menjelma menjadi pohon-pohon kaktus berduri yang tumbuh mengganjal di hatiku, menjelma menjadi tiang gantungan yang mengancam. Aku hidup dalam hari-hari yang mencekam. Aku meratapi nasibku dalam derita yang tertahan. Aku ingin berontak, tapi teduh wajah mereka selalu membuatku luluh.

Saudaraku yang selalu di hati...tulisan di atas adalah salah satu fenomena umum yang sering terjadi, tidak hanya di pedesaan tetapi diperkotaanpun tidak sulit ditemukan, walau dengan cara dan versi yang berbeda. Mayoritas dialami oleh perempuan yang mempunyai posisi sosial kultural di bawah laki-laki, tetapi jangan salah ternyata ada juga para laki-laki yang dipertemukan jodohnya bukan atas pilihannya sendiri. Sedih, kecewa, putus asa, marah, tidak terima, merasa harga diri terinjak-injak, pengebirian kebebasan memilih, tak pernah bisa mendapatkan hak, mujbirnya diri dan segudang perasaan muncul ketika kita berada pada posisi tersebut...

Salahkah ketika mempunyai perasaan itu? berdosakah jika keinginan kita tak sama dengan orang tua? durhakakah kita kepada orang tua ketika tak ada cinta di hati kita untuk calon pasangan? Begitu banyak pertanyaan yang tidak kita temukan jawabannya karena terjadi perang batin antara keimanan, ketaatan, birrul walidain, dan keinginan diri.

Ketika rasa cinta itu tumbuh, maka pikiran; tubuh dan hati akan terarah pada semua aktifitas yang mendukung tumbuhnya cinta, dan ketika cinta itu telah menguasai seseorang maka mayoritas jalan berfikir sehat kita jadi buntu, tidak rasional dan cenderung subyektif, semua karena kita tidak meletakkan arti dan sasaran cinta itu sebenarnya, masih ambigu dengan nafsu, karena notabene yang dihadapi adalah makhluk-Nya, bukan cinta kepada Sang Pencipta. Begitu banyak pertimbangan dari orang lain yang tidak bisa kita terima oleh akal pada saat itu, dan akhirnya kita berjalan dengan rasa cinta yang menggebu.

Memang tidak bisa disalahkan ketika cinta itu tidak bisa tumbuh untuk seseorang, karena cinta itu fitrah dan individual, tidak bisa diumbar kesana-kemari, sehingga tidaklah mudah kita memberikan cinta itu pada siapapun. Sehingga ketika kita dipertemukan dengan seseorang yang bukan pilihan hati, maka akan timbul konflik internal seperti contoh kasus di atas...

Banyak fenomena model perjodohan dengan latar belakang yang berbeda, mulai dari perjodohan sebelum lahir; perjanjian antar teman untuk besanan; perjanjian marga; adat istiadat, perjodohan karena hutang piutang, perjodohan demi kelangsungan hidup dan sudah barang tentu perjodohan yang dilandaskan kriteria agama. Fenomena dengan latar belakang positif dan negatif...

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah mengapa itu bisa terjadi? kenapa sulit sekali menerima perjodohan itu? kenapa logika dan rasional yang diberikan orang tua tidak bisa kita terima? kenapa pengalaman-pengalaman dan contoh-contoh yang sudah jelas di depan mata kita dan diprediksikan orang tua sepertinya mental begitu saja? tapi juga muncul pertanyaan kontraexpanded, mengapa harus ada perjodohan? haruskah kita menurutinya? atas dasar apa kita harus mengatakan iya? perjodohan yang bagaimana yang harus diterima dan ditolak? apakah tidak ada pembicaraan yang mengarah ke kemaslahatan kedua belah pihak? apakah hanya karena birrul walidain akhirnya terjadi pengebirian hak asasi?

Semuanya akan bisa terjawab jika kita kembali kepada konsep agama... pada dasarnya pernikahan itu harus an taroodlin minkum, adanya keridloan dari semua pihak, termasuk mempelai wanita walaupun dia mujbir. Kewajiban orang tua adalah menikahkan anakknya dan termasuk mencarikan jodoh dan atau merestui jodoh yang dibawa oleh anaknya, otomatis harus berdasarkan kriteria agama. Kriteria yang sudah jelas adalah berdasarkan 4 hal, karena hartanya; kecantikan/ketampanannya; keluarga/keturunannya dan karena agamanya, dan yang terakhir inilahyang paling penting. Artinya jodoh yang seiman; sekufu; mempunyai iman yang teguh, keislaman yang baik dan keihsanan yang istiqomah, bertaqwa, sholih-sholihah, maka itulah yang dijadikan dasar pemikiran utama, bukan HANYA kecantikan bak cleopatra atau ketampanan sang arjuna, atau bahkan sekaya firaun... BUKAN HANYA ITU.

Maka ketika perjodohan itu belum dilakukan dan kita mempunyai kesempatan untuk menemukan belahan jiwa, maka seharusnya memenuhi kriteria di atas, bukan hanya sekedar bibit bebet bobot menurut orang jawa, tetapi lebih pada apakah akan mendapatkan kemaslahatan dunia akhirat? jika konsep pencarian jodoh di atas sudah dilakukan, maka sangat diyakini tidak mungkin akan terjadi perjodohan dari orang tua...Nach, seyogyanya juga pihak orang tua sangat mempertimbangkan persyaratan agama tersebut, sehingga tujuan orang tua yang selalu digembar-gemborkan semua demi kebaikan, itu akan terwujud, dunia akhirat.

Ketika fenomena perjodohan tidak berdasarkan syarat dan konsep agama, maka model perjodohan inilah yang bisa dilakukan penolakan, sudah barang tentu dengan dilakukan komunikasi yang baik antara kedua belah pihak (orang tua dan anak),tetapi jika sudah dipertimbangkan orang tua bahwa sang calon pasangan mempunyai kriteria calon yang sholih/sholihah, untuk apa harus ditolak? apakah masih perlu hitung-hitungan untuk mengganti kebahagiaan akhirat dengan kefanaan gemerlap dunia yang semu?

Dan yang perlu diketahui adalah birrul walidain itu merupakan kewajiban mutlak seorang anak kepada orang tuanya, walau terkesan pengebirian hak asasi apalagi bagi pejuang hak asasi, tapi sebenarnya esensinya tidak hanya pada berbakti, tetapi lebih kepada jembatan untuk mendapatkan ridlo-Nya. Sudah banyak bukti yang ditemukan bahwa banyak pasangan yang berumah tangga dengan pilihan sendiri yang notabene tidak sesuai dengan konsep agama atau ada ketimpangan, akan mengalami kesulitan dalam berumahtangga, terutama jika sang suami yang tidak mumpuni dalam beragama... bagaimana bisa rumah tangga itu sakinah mawaddah warrohmah jika suami tidak bisa menjadi imam yang baik? hanya mempunyai kelebihan duniawi yang akan cepat sirna... bagaimana sulitnya seorang suami menghadapi istri yang tidak sholihah yang hanya mengikuti hawa dan nafsu duniawinya? Dan saudaraku, tidak sedikit pasangan yang awalnya seperti kucing dan tikus karena dijodohkan, tetapi karena masing-masing mempunyai dasar agama yang kuat, atau paling tidak memahami konsep dan prinsip agama, semua pada akhirnya akan berjalan dengan baik. Dengan penuh keihlasan dan keridloan akan takdir yang sudah ada, dan inilah sarana berbakti dan mendapatkan ridlo-Nya, niscaya akan indah dunia rumah tangga itu.

Di sini tidak dibahas bagi saudara-saudara yang beruntung mendapatkan jodoh sendiri dan berbahagia, karena konsep cinta yang dielu-elukan dan konsep agama yang telah mendarah daging.

Pada intinya... yang perlu dijadikan dasar adalah kriteria jodoh yang islami, sholih/sholihah penuh keimanan dan ketaqwaan... bagaimanapun cara mendapatkannya, itu tidaklah penting...

wallaahu a'lam bishshowaab

Renungan karena pengalaman (Gresik, 17 Agustus 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar